Guillotine, Alat Pancung Prancis yang Dimanfaatkan Hitler-Nazi
BERITA TERDEPAN - Fernand Meyssonnier punya sebuah kisah ketika masih tinggal di
Aljazair. Pada suatu hari ia merasa tak enak badan melihat darah
mengucur dari tangan temannya. Lelaki itu mencoba menghidupkan mobil
dengan sebuah tongkat tapi malah merobek tangannya sendiri. Fernand tak
tahan melihat darah mengalir dari luka itu.
"Saya menanyakan
kepada dokter, apakah ada yang salah dengan saya. Dokter itu bilang,
Anda hanya tidak terbiasa dengan itu (melihat darah)," kenangnya.
Sang
dokter tak tahu kala itu Fernand bekerja sebagai algojo eksekusi mati
menggunakan guillotine. Ia sudah sangat terbiasa dengan ceceran darah,
suara tulang leher yang putus, hingga menenteng kepala terpidana mati.
Namun darah dari seseorang yang dikenal bisa bermakna lain baginya.
Fernand adalah eksekutor guillotine terakhir. Kontributor radio BBC
London, Hugh Schofield, menemui Fernand pada 2002 lalu di kediamannya
Desa Fontaine de Vaucluse, Prancis. Usianya sudah 72 tahun dan tengah
mengidap penyakit kanker. Liputan BBC ini dimuat dalam buku From Our Own
Correspondent: A Celebration of Fifty Years of the BBC Radio Programme.
Profesi
sebagai pemancung guillotine diwarisi Fernand dari ayahnya Maurice
Meyssonier, pemilik bar tempat berkumpul orang-orang komunis di
Aljazair. Negara di benua Afrika itu itu masih berada dalam kekuasaan
Prancis saat Perang Dunia (PD) II berakhir. Maurice merupakan kepala
eksekusi pada 1947.
Poker&DominoAyahnya menerima tugas dari kantor kejaksaan.
Mereka kemudian mengepak perlengkapan guillotine ke dalam kotak dan
memuatnya dalam kereta menuju penjara di Aljazair, Oran ataupun
Constantine.
Sedangkan kakek Fernand adalah Henri Roch, kepala
eksekusi sebelum PD II. Darah eksekutor guillotine, kata Fernand, sudah
mengalir dalam keluarga Meyssonier.
Fernand sendiri memulai
pekerjaan itu sejak berusia 21 tahun pada 1947. Awalnya ia hanya
menjabat sebagai asisten junior dengan tugas mengikat pergelangan kaki
dan paha terpidana yang akan dieksekusi. Posisi terpidana mati
menelungkup dan tangan diborgol ke belakang, posisi ini membuat kepala
menjulur sehingga memudahkan pemancungan dengan guillotine.
Jabatan
Fernand meningkat menjadi asisten pertama dengan tugas memegang kepala
terpidana mati dari depan dan mengarahkan jatuhnya kepala ke dalam
sebuah keranjang yang biasa disebut 'demi-lunette'. Pekerjaan ini tak
mudah, ia harus memastikan terpidana mati tak menengok. Jika tidak,
pisau guillotinemengenai rahang dan pekerjaan harus diselesaikan dengan
pisau jagal.
Tanpa pisau jagal-pun pemandangan mengerikan selalu terjadi ketika
pemancungan. Sekitar dua gelas darah muncrat dari leher yang terpotong
sejauh tiga meter. Saat itu jantung masih memompa darah ke otak.
Walau
terdengar sadis, guillotine diyakini sebagai mesin pemancung paling
sempurna. Terpidana mati hanya perlu mengantre sebentar untuk eksekusi.
Dalam 20 detik, dua orang dapat dipancung dengan alat yang sama. Saat
perang Prancis-Aljazair, Fernand mengeksekusi dengan guillotine sebanyak
5-6 terpidana dalam sebulan, sepanjang kariernya ia sudah memenggal 200
kepala.
Guillotine sendiri diciptakan dengan tujuan untuk
menyamakan hukuman mati pada seluruh terpidana mati di Prancis setelah
masa revolusi.
Situs history.com menyebutkan pada 1791 Majelis
Nasional Perancis memperdebatkan kesamaan eksekusi hukuman mati terhadap
seluruh terpidana mati sebagai wujud persamaan hak.
Sebelumnya
hukuman mati dengan cara pancung hanya diperuntukkan orang terhormat
dengan maksud memberikan kematian secara cepat dan mengurangi rasa
sakit. Sedangkan penjahat kriminal dieksekusi mati dengan cara digantung
atau dibakar.
Seorang dokter sekaligus politisi, Joseph-Ingnace Guillotine menawarkan
konsep eksekusi dengan mesin, yang kemudian dikenal sebagai guillotine.
Ia menyebutkan gouletine memancung secepat kilat. Desain alat ini-pun
lantas dikerjakan ahli bedah, Antoine Louis, dan dibuat pembuat piano,
Tobias Schmidtt.
Pembuatan guillotine didukung oleh Charles-Henry
Sanson. Ia mengeluhkan pedang yang digunakan untuk memancung terus
mengalami penumpulan dan susah menemukan pemancung profesional. Alat ini
akan mempermudah tugasnya mengeksekusi hukuman mati.
Eksekusi
menggunakan guillotine pertama dilakukan pada seorang terpidana mati
kasus pencurian dan pembunuhan, Nicolas-Jacques Pelletier, dan
berlangsung dengan sukses. Guillotine pun menjadi alat resmi eksekusi
mati di seluruh kekuasaan Paris.
Di Jerman, Adolf Hitler pun disebut memanfaatkan alat tersebut untuk
mengeksekusi lawan politik dan siapa saja yang dianggap membangkang.
Catatan Nazi menyebutkan sekitar 16.500 orang telah dieksekusi dengan
guillotine antara 1933 hingga 1945.
Pekerjaan sebagai eksekutor
guillotine bukan profesi tanpa hambatan psikologis. Salah seorang
eksekutor guillotine, Louis Deblier merasa pikirannya terganggu sejak
mengeksekusi seorang terpidana perempuan. Perempuan itu mengiba ketika
menyibakkan bahunya di depan Deblier dan mengundang rasa iba.
DominoQQApalagi
Deblier pernah melakukan penelitian kecil dengan memberikan sebuah
tindakan kepada sebuah kepala yang sudah terpenggal. Hasilnya, kepala
itu masih memberikan respons selama beberapa saat. Kepala yang terputus
itu masih bisa mendengar kerumunan masa dan melihat guillotine yang
memancungnya.
Puncak gangguan psikologis ini dialaminya ketika tangannya terciprat
darah, ia diperkirakan mengalami fobia darah. Diblier menggosok kulitnya
dengan cara berlebihan ketika mencuci tangan. Dan setiap saat ke
gereja, ia selalu menggunakan sarung tangan dengan maksud tidak
mengotori tempat suci dengan darah yang meresap di tangannya.
Eksekusi
dengan guillotine sendiri terakhir dilakukan pada 1977. Prancis
mengeksekusi terpidana pembunuhan berkebangsaan Tunisia, Hamida
Djandoubi. Setelah tahun itu tak ada lagi pemancungan dengan guillotine
hingga Prancis menerapkan abolisi pada 1980-an.
Gangguan Deblier
tak dialami oleh Fernand. Dia masih menyimpan miniatur guillotine yang
diberikan ayahnya saat masih berusia 15 tahun dalam kotak kaca. Dua ekor
burung beo bertengger di rumahnya, Fernand melatihnya dengan siulan
lagu mars Marseillaise dan Internationale. Usai siulan lagu, mereka-pun
berbicara, "Tout condamne a mort aura la tete tranche. Vive
Meyssonier!!! (Semua yang dijatuhi hukuman mati akan dipotong kepalanya.
Hidup Meyssonnier!!!)".